Jumat, 12 Juli 2019

VCT ( Virtual Coordinator Online Training)




Suara panggilan via gadget berdering sedikit mengagetkan diriku yang saat itu sedang "makler" alias  tertidur sejenak karena kelelahan sepulang ngantor sore itu. Ternyata salah satu teman kuliahku nelpon dan cuma bilang, "buka dan baca pesen dari aku ya bu", trus mati deh itu telepon. Dengan rasa penasaran ku buka pesan dari temanku, ternyata dia kirim flayer tentang sebuah pelatihan yang aku gak begitu paham maksudnya, karena kata-katanya agak asing diteligaku Virtual Coordinator Online Training, "ah pasti ribet ini, pikirku, apalagi aku yang gaptek dan agak kurang berminat dengan dunia online. 

Rasa penasaran kembali muncul saat ku lihat flayer bertuliskan VCT, kemudian aku tanya ke temanku tentang teknis dan bentuk pelatihannya kayak apa . Setelah dijelaskan olehnya dengan ditambahi sedikit testimoni pengalamannya yang sudah ikut di VCT sebelumnya tepatnya VCT Bacth 2 akhirnya aku beranikan diri untuk ndaftar jadi peserta.

Tak berapa lama aku dimasukkan dalam group peserta VCT batch 3. Setiap hari aku menyimak obrolan di group yang ternyata juga pada penasaran dengan bentuk dan materi pelatihan ini. Terbayang aku yang gaptek pasti akan banyak menemui kesulitan karena aku hanya menguasai program standar kebutuhan administrasi sebagai guru dan sedikit PPT untuk media pembelajaran tambahan.

Tibalah hari  pelatihan di mulai, jadwal yang ditawarkan hanya ku baca saja tanpa berminat untuk menuliskan namaku di salah satu sesi untuk salah satu dari 3 posisi yang harus dikuasai ( host, presenter dan moderator), begitu berlanjut samapi tiga hari. kegiatanku hanya masuk, ngintip, ndengerin dan nyimak dalam beberapa kali sesi, hingga akhirnya muncul keberanian untuk menuliskan namaku sebagai moderator untuk pertama kalinya, dan sukses.

Dihari berikutnya kucoba jadi presenter, materi ppt sudah ku siapkan sesuai jumlah sheet yang telah ditentukan. Semua peralatan yang kubutuhkan sudah kusiapkan ( mandi dan merapikan diri maklum akan tampil serasa artis 50 menit  di dunia maya he..he), maka sesuai waktu yang tertulis di jadwal pk 16.00 kubuka salam dan kembali kuperkenalkan diriku tentunya setelah host membuka vicon dan moderator mempersilakanku. Baru mempresentasikan tiga sheet dari 12 sheet yang kupersiapkan tiba-tiba aku hilang dari meet room alias terlempar karena sinyal hilang, terbayang dong kepanikan yang kurasakan karena ini kali pertama tampil jadi presenter. Beruntung aku punya tim ( host dan moderator) yang sangat baik hati , sabar dan kompak, hingga akhirnya kita sepakat untuk mengulang kembali malam harinya yaitu pk.19.00.

Masih beruntung diriku ketika ikut vicon cukup di rumah saja, paling hanya bergeser mulai dari ruang tamu, teras atau ke halaman depan ketika tanda-tanda sinyal mulai kurang bersahabat alias tidak stabil. Ada temanku sesama peserta VCT batch 3 yang harus pergi ke persawahan dan  lumayan jauh dari rumahnya demi menegakkan stabilitas sinyal saat harus mengikuti vicon. Ada juga yang lagi presentasi tiba-tiba anaknya nangis minta disuapin , ada juga yang lupa ngrekam viconnya dan baru inget 15 menit sebelum waktu habis dan masih  banyak lagi pengalaman yang konyol, lucu, panik yang kami alami.

Mengikuti  kegiatan VCT selain menambah ilmu, wawasan, ketrampilan, upgrade teknologi juga menambah saudara karena kami jadi akrab meski bnayak yang belum pernah ketemu secara langsung (kopdar).

Yang pasti pelatihan ini sangat memotivasi saya baik sebagai pendidik maupun warga masyarakat untuk terus belajar , berbagi dan peduli terhadap sesama.

Terimakasih dan penghargaan saya sampaikan kepada SEAMO, SEAMOLEC dan seluruh tim VCT juga instruktur yang telah menyiapkan kegiatan pelatihan ini, semoga kegiatan ini mampu meningkatkan kualitas pendidikan negeri kita tercinta Indonesia.





Selasa, 02 Agustus 2016

PERANG ANTAR SUKU DANI DAN SUKU MONI DI PAPUA DALAM KAJIAN INTEGRASI NASIONAL DAN KONFLIK MASYARAKAT INDONESIA

 
PERANG ANTAR SUKU DANI DAN SUKU MONI DI PAPUA
DALAM KAJIAN INTEGRASI NASIONAL DAN KONFLIK
MASYARAKAT INDONESIA
 
Abstrack
 
(datik512@gmail.com)
 
 
The existence of the state of Indonesia as an archipelagic country strongly supports the diversity of tribes with all kinds of cultures, traditions, customs and religion / belief. Such conditions also trigger conflict among these tribes who sometimes end up with war, destruction and even loss of life on both sides of the conflict. I mentioned that sometimes ended with war, destruction and even loss of life on both sides of the conflict.

Handling inter-ethnic conflict in Papua is done by local government and social institutions basically have the same pattern of treatment that can be seen as a negative action, criminal and contrary to law. With such an understanding, the role of local government and social institutions is nothing more than a police guard who simply intervene and stop the fighting.

The most appropriate solution to remove the inter-tribal warfare culture is to change the mindset of the people of Papua.Attempts to change this mindset and the process requires the cooperation of various fields ranging religion, education and government to be able to change the people of Papua into society more rational and openmind. Papua society as a whole must be educated about how to separate the issue of the personal with the issue of the group and slowly remove excessive primordialism.

Key words : Conflict between ethnic , national integrity , and the solution .

Abstrak
Keberadaan negara Indonesia sebagai negara kepulauan sangat mendukung beragamnya suku-suku bangsa dengan segala macam budaya, adat istiadat, kebiasaan dan agama/ kepercayaan. Kondisi seperti ini juga memicu munculnya konflik diantara suku-suku tersebut yang terkadang berakhir dengan peperangan, perusakan bahkan hilangnya nyawa dari kedua belah pihak yang berkonflik.
Penanganan konflik antar suku di Papua yang dilakukan oleh Pemda dan lembaga kemasyarakatan pada dasarnya memiliki pola penanganan yang sama, yaitu dilihat sebagai suatu tindakan yang negatif, kriminal dan bertentangan dengan hukum. Dengan pemahaman semacam ini, peran Pemda dan lembaga kemasyarakatan tidak lebih dari seorang polisi penjaga yang hanya melerai dan menghentikan pertikaian.
Solusi yang paling tepat untuk menghapus budaya perang antar suku ini adalah dengan mengubah mindset masyarakat Papua. Upaya untuk mengubah mindset ini memerlukan proses dan kerjasama dari berbagai bidang mulai agama, pendidikan serta pemerintah agar mampu mengubah masyarakat Papua menjadi masyarakat yang lebih rasional dan openmind.  Masyarakat Papua secara menyeluruh harus diedukasi tentang bagaimana memisahkan pesoalan pribadi dengan persoalan kelompok dan perlahan menghapus primordialisme yang berlebihan.
Kata kunci: Konflik antar suku, integritas nasional , dan solusinya.

A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dan terluas keempat  di dunia dengan jumlah pulau kurang lebih 13. 466.000 menurut sumber Badan  Informasi Geospasial (BI). Kondisi tersebut tentulah membawa manfaat yang besar terhadap keanekaragaman budaya , bahasa, agama dan dan adat istiadat. Namun juga rentan terjadi konflik antar maupun internal suku dalam pulau –pulau tersebut.
Pulau Papua salah satu bagian kepulauan Indonesia di bagian timur wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang cukup besar dengan  luas wilayah 317.062 km2 dan dihuni oleh ratusan suku besar maupun suku kecil. Secara geografis Papua terdiri dari daerah pegunungan  dengan lembah-lembah yang ditumbuhi rumput-rumput kasar,  dengan suhu tertinggi 28,2  derajat celcius  di kota Jayapura dan suhu terendah 19 derajat celcius di kota Wamena. Mata pencaharian sebagian besar masyarakatnya adalah bertani dan berkebun serta beternak. Kondisi tanah di Papua sangat cocok untuk pertanian dan perkebunan karena kesuburannya.
Pulau Papua dihuni oleh ribuan suku besar maupaun suku kecil,  total jumlah suku di papua menurut data sensus penduduk tahun 2000 adalah 1068 suku. Dengan jumlah suku yang begitu banyak pasti bisa kita bayangkan betapa kayanya pulau tersebut dengan keanekaragaman budaya dan juga betapa rentannya terjadi konflik di tanah Papua.  Seperti yang dilansir oleh media massa cetak maupun elektronik baik local maupun nasional sering terjadi perang suku yang terkadang berujung dengan hilangnya nyawa adalah hal yang sering terjadi.
Kondisi di papua sangat beralasan untuk terjadinya konflik karena dengan kondisi geografis yang terdiri dari pegunungan, lembah dan hutan juga sungai sering terjadi pertengkaran yang dipicu oleh masalah perebutan hak ulayat. Sesuai dengan pekerjaan dan budaya penduduk Papua yang suka bertani dan berkebun.
Papua hingga saat ini masih menyimpan berbagai macam permasalahan sosial terutama konflik atau perang antar suku. Konflik sosial yang terjadi di Papua sangat beragam dan mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik dan ekonomi. Konflik yang terjadi beberapa tahun belakangan ini juga tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, seperti yang belum lama ini terjadi yaitu perang antar suku Dani dan suku Moni di Kabupaten Mimika yang  diakibatkan perebutan lahan irigasi.


B.     Rumusan Masalah
Makalah ini akan membahas mengenai analisis konflik yang terjadi di Papua dan solusi atau penyelesaian yang mungkin dapat dilakukan terhadap konflik yang terjadi

C.    Perang  Antar Suku di Papua dalam Kajian Integrasi Nasional
Struktur masyarakat Papua yang penuh dengan pluralitas telah banyak dan akan selalu menimbulkan persoalan integrasi nasional karena hingga saat ini belum ada solusi yang tepat untuk mengakhirinya. Papua memiliki masyarakat yang majemuk, sesuai karakteristik masyarakat majemuk yaitu: terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang memiliki subkebudayaan yang berbeda, kurang mengembangkan konsensus tentang nilai sosial yang mendasar, sering terjadi konflik antar kelompok dan secara relatif integrasi terjadi karena adanya coercion atau paksaan. Masyarakat Papua merupakan masyarakat dengan tingkat diferensial yang tinggi dengan banyak lembaga kemasyarakatan namun tetap saling bergantung (Nasikun, 1989: 67-68).
Kesatuan sosial yang tersegmentasi berdasarkan ikatan primordialisme dengan subkebudayaan yang berbeda tentu saja akan sangat rawan menimbulkan konflik antar segmen masyarakatnya. Hal ini terjadi di antara suku Dani dan suku Moni di Papua, meskipun mereka sama-sama dalam naungan budaya Papua namun subkebudayaan mereka berbeda, primordial mereka sangat tinggi terhadap sukunya masing-masing, hal ini menyebabkan suatu konflik kecil pun pada akhirnya berakhir dengan peperangan.
Integrasi nasional bisa tercapai ketika terdapat kesepakatan masyarakat akan nilai umum tertentu. Nilai umum tersebut juga lebih lanjut harus dihayati dengan benar melalui proses sosialisasi. Di Indonesia terdapat suatu pengakuan bertumpah darah satu, berkebangsaan satu dan berbahasa satu, Indonesia. Pengakuan tersebut menjadi konsensus umum bagi masyarakat Indonesia (Jacobus, 2013: 199). Jika pengakuan tersebut benar-benar dihayati oleh setiap masyarakat Indonesia maka akan menjadi suatu alat integrasi yang luar biasa dan tidak akan ada lagi konflik bahkan peperangan seperti yang terjadi di Mimika Papua antara suku Dani dengan suku Moni.
Integrasi nasional bisa terhambat dipengaruhi oleh dua dimensi yaitu dimensi horizontal dan dimensi vertikal seperti yang dikemukakan oleh R. William Liddle. Dimensi horizontal berupa masalah akibat adanya perbedaan suku, ras, agama dan aliran yang lainnya. Dimensi ini sering terjadi karena adanya kekentalan primordialisme masyarakat. Sedangkan dimensi vertikal berupa masalah yang terjadi akibat munculnya kelompok-kelompok tertentu yang menjelma sebagai jurang pemisah antara mayoritas dengan minoritas atau antara golongan elit dengan golongan masyarakat biasa. Hal tersebut kemudian akan menimbulkan rasa keterasingan atau rasa kecemburuan dari golongan minoritas atau rakyat biasa. Perang yang terjadi di Mimika Papua jelas merupakan konflik dalam dimensi horizontal karena terjadi antar suku yang masing-masing memegang primordial yang tinggi.
                        Masyarakat Indonesia yang beragam disegala aspek kehidupan sangat rawan terjadi konflik dan oleh karenanya integrasi nasional pun akan sulit dicapai. Konflik yang menghambat integrasi nasional tersebut diantaranya terjadi karena:
a.       Salah satu suku bangsa mendominasi suku bangsa lain secara politis. Konflik berupa pertentangan akibat pembagian status kekuasaan yang tidak merata.
b.      Warga dari dua suku saling bersaing untuk mendapat lapangan mata pencaharian hidup bersama
c.       Warga dari satu suku memaksakan kebudayaan mereka kepada warga suku yang lain
d.      Warga dari satu suku berusaha mendominasi suku lain secara ideologis
e.       Hubungan antara suku bangsa yang telah bermusuhan secara adat

D.    Perang antar suku di Papua dalam Kajian Konflik
Papua adalah salah satu provinsi di Indonesia yang masih sangat sedikit tersentuh modernisasi, masyarakatnya masih banyak yang tinggal di pedalaman dan cenderung menolak modernisasi yang datang. Masyarakat Papua mayoritas masih dapat dikatakan primitif karena masih memegang teguh apa yang diturunkan nenek moyang termasuk meniru cara nenek moyang dalam menyelesaikan masalah. Setiap terjadi suatu masalah masyarakat suku adat Papua menetapkan babi sebagai denda yang harus dibayarkan kepada pihak yang dirugikan dan jika tidak dituruti maka perang antar suku akan dilakukan. Selain itu jika ada anggota mereka mati karena ulah suku lain maka mereka akan membalas membunuh anggota suku lain tersebut, bagi mereka nyawa harus dibayar dengan nyawa yang setimpal.
Tanah Papua masih menyimpan banyak permasalahan sosial termasuk yang sering diungkap ke permukaan adalah permasalahan berupa konflik atau peperangan antar suku. Papua yang terdiri dari banyak suku tersebut masing-masing memiliki subkebudayaan yang berbeda dan memegang primordialisme yang sangat tinggi. Ketika ada seseorang atau sesuatu dari bagian sukunya merasa dirugikan bahkan sekecil apapun oleh suku lain, mereka akan merasa turut dirugikan hingga akhirnya masalah sepele pun bisa berakhir perang diantara suku tersebut. Permasalahan masa lalu dalam internal antar suku pun kerap kali masih diungkit hingga sekarang. Penyelesaian secara damai pun sulit untuk dilakukan karena mereka memilih untuk menyelesaikan masalah dengan cara adat mereka sendiri.
Suku Dani dan suku Moni adalah dua diantara banyak suku asli Papua yang memiliki budaya perang yang sangat tinggi. Februari 2014 perang antara kedua suku tersebut kembali tumpah. Konflik terjadi akibat adanya perebutan tanah di Kali Kamoro, Jalan Trans Timika-Paniai bermula dengan aksi saling bakar alat berat  milik kedua suku tersebut pada 17 – 18 Februari 2014 di lokasi Kali Iwaka dan kompleks Djayanti Kuala Kencana dan Jembatan Kali Pindah-pindah.
Meskipun sebenarnya telah ada perjanjian damai pada bulan Februari namun pada kenyataannya konflik perebutan lahan tersebut tetap berlanjut hingga 4 Maret 2014. Suku Dani dan Suku Moni terlibat saling serang dan membuat Kampung Mimika Gunung Jayanti, Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika mencekam mulai 7 Maret 2014. Perang berakhir dengan adanya pembubaran paksa oleh pemerintah setempat dan memakan 4 korban tewas serta ratusan warga luka akibat benda tajam.
Selanjutnya 17 Maret pemerintah setempat membentuk satuan tugas (satgas) yang berfokus untuk menyelesaikan peperangan tersebut. Namun ternyata pada konflik tersebut tetap berbuntut panjang. 27 Maret 2014 dua orang tewas dibantai secara sadis, kedua korban diyakini memiliki kaitan dengan konflik Dani-Moni. Pada akhirnya 3 April 2014 kedua kubu menggelar prosesi bakar batu sebagai bentuk perdamaian. Diluar dugaan ternyata konflik tetap berlanjut dan terjadi perang lagi pada awal Mei 2014.
Jika ditilik dari kajian konflik, sebenarnya konflik memang merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam hidup manusia namun tidak bisa dibenarkan jika konflik tersebut diikuti dengan kekerasan seperti perang antara suku Dani dan suku Moni. Di Indonesia sendiri memang beberapa masyarakat tertentu menganggap penyelesaian konflik dengan kekerasan merupakan suatu adat tersendiri dan tertanam kuat dalam mindset mereka, oleh karenanya masih sulit untuk dihentikan.
Intensitas terjadinya konflik di Indonesia memiliki indikator sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Nasikun (1989: 82-91):
a.       Demonstrasi tanpa kekerasan yang dilakukan untuk memprotes rezim pemerintahan
b.      Kerusuhan yang menggunakan kekerasan fisik ditandai dengan adanya spontanitas akibat insiden dari suatu kekacauan
c.       Serangan bersenjata atau armed attack berupa kekerasan untuk melemahkan pihak lain
d.      Kematian akibat adanya kekerasan politik
e.       Governmental sanction yang diambil penguasa untuk menetralisir ancaman terhadap keamanan pemerintah

Peperangan antar suku Dani dan suku Moni termasuk dalam indikator armed attack atau serangan bersenjata. Armed attack ditandai dengan adanya pertumpahan darah, pergulatan fisik maupun perusakan barang-barang. Armed attack yang dilakukan suku Dani maupun suku Moni bertujuan untuk kepentingan mempertahankan tanah adat yang diklaim oleh masing-masing pihak.
Jacobus Ranjabar dalam bukunya mengutip pengklasifikasian konflik yang dikemukakan oleh H. Kusnadi dan Bambang Wahyudi (2013: 211-213). Pengklasifikasian cukup kompleks mencakup berbagai macam aspek. Berikut adalah analisis pengklasifikasian konflik perang suku Dani dan suku Moni di Papua:
a.       Menurut hubungannya dengan tujuan organisasi perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik disfungsional. Konflik jenis ini menghambat tercapainya tujuan organisasi dalam hal ini berupa integrasi nasional. Konflik ini juga kerap bersifat destruktif atau merusak sehingga akan merugikan banyak pihak jika penyebabnya tidak dieliminasi semaksimal mungkin.
b.      Menurut hubungannya dengan posisi pelaku yang berkonflik perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik horizontal. Konflik ini terjadi antara sesama suku asli Papua yang memiliki derajat atau kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih tinggi atau lebih rendah kedudukannya antara suku Dani maupun suku Moni.
c.       Menurut hubungannya dengan sifat pelaku yang berkonflik perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik terbuka. Perang tersebut diketahui oleh banyak pihak atau masyarakat Indonesia.
d.      Menurut hubungannya dengan waktu perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik berkelanjutan. Konflik jenis ini berlangsung dalam waktu yang lama dan sulit untuk diselesaikan, seperti perang antara kedua suku tersebut, meskipun telah dicapai kata damai namun tetap saja di kemudian hari tidak menutup kemungkinan akan ada konflik lanjutan yang baru.
e.       Menurut hubungannya dengan pengendalian perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik tidak terkendali. Konflik yang terjadi tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan bahkan semakin meluas.
f.       Menurut hubungannya dengan sistematika konflik perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik sistematis. Perang yang mereka lakukan terjadi karena telah direncanakan, ada yang mengomando serta memiliki suatu tujuan yaitu mempertahankan tanah ulayat mereka.
g.      Menurut hubungannya dengan konsentrasi aktivitas manusia di dalam masyarakat perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik budaya serta konflik pertahanan.

Secara umum perang antara suku Dani dan suku Moni jelas masuk dalam konflik horizontal. Konflik ini cenderung mengikat dan cenderung diwarnai dengan tindakan kekerasan, penghancuran harta benda, pembunuhan dan bahkan pelenyapan etnis tertentu. Konflik ini dipicu saling klaim tanah ulayat dan adanya dorongan emosional akibat adanya primordialisme yang kental akan masing-masing suku.
Namun di sisi lain, menurut Lewis Coser konflik juga memiliki fungsi terhadap sistem sosial, ia menolak bahwa hanya konsensus dan kerjasama yang memiliki fungsi integrasi. Menurut Coser konflik tidak hanya memiliki wajah negatif namun juga positif  terhadap perubahan sosial.

E.     Solusi yang dapat diambil
Secara teoritis menurut Reza Sihbudi dan Moch Nurhsim (dalam Jacobus, 2013: 245-246) ada beberapa upaya untuk mencegah konflik yang menghambat integrasi nasional, yaitu:
a.       Memasukkan transformasi multikultural sebagai salah satu mata pelajaran dari sekolah hingga perguruan tinggi.
b.      Pemberdayaan ekonomi rakyat secara nasional agar tidak terjadi kesenjangan struktural dan kultural
c.       Pemerintah perlu membuat undang-undang kesederajatan hak warga negara
d.      Memisahkan kehidupan agama, suku, etnik, ras dan golongan dalam kehidupan politik bernegara
e.       Mengeliminasi stereotip dan prasangka dalam masyarakat

Dalam kenyataannya untuk menangani perang antara suku Dani dan suku Moni pemerintah hanya melakukan upaya represif padahal konflik sejenis ini relatif sering terjadi di Papua. Pendamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda dan lembaga kemasyarakatan pada dasarnya memiliki pola penanganan yang sama. Perang suku dilihat sebagai suatu tindakan yang negative, kriminal dan bertentangan dengan hukum. Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan. Dengan pemahaman semacam ini, peran Pemda dan lembaga kemasyarakatan tidak lebih dari seorang polisi penjaga yang hanya melerai dan menghentikan pertikaian.
Penanganan konflik seperti diatas bisa saja menyelesaikan masalah namun tetap memiliki kelemahan. Pola penanganan semacam ini bersifat parsial atau hanya efektif untuk satu kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Meskipun perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Penanganan secara adat juga akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial. Ketika kultur setiap suku yang ada di pedalaman Papua terus menerus dipertahankan dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku akan terus menerus terjadi.
Penanganan perang antara suku Dani dan suku Moni yang dilakukan Pemda dengan membentuk satuan tugas atau satgas, mempertemukan kedua pihak yang bertikai dengan dijembatani pihak ketiga serta upacara bakar batu seperti adat di Papua benar bisa menghentikan konflik yang terjadi. Segala upaya tersebut sebagai upaya preventif bisa dikatakan cukup efektif namun tetap tidak bisa menghapus permasalahan hingga ke akarnya, permasalahan baru yang serupa sangat mungkin terjadi lagi dikemudian hari.
Solusi yang paling tepat untuk menghapus budaya perang antar suku ini adalah dengan mengubah mindset masyarakat Papua. Pemerintah harus berupaya lebih keras untuk melakukan pendekatan dengan masyarakat Papua secara keseluruhan bahkan hingga ke masyarakat pedalaman yang masih sangat primitif. Upaya untuk mengubah mindset ini memerlukan proses dan kerjasama dari berbagai bidang mulai agama, pendidikan, serta pemerintah agar mampu mengubah masyarakat Papua menjadi masyarakat yang lebih rasional, potitif dan openmind. (Suharno, 2013:3) pendidikan merupakan variabel penting untuk melakukan intervensi dan rekayasa sosial.  Masyarakat Papua secara menyeluruh harus diedukasi tentang bagaimana memisahkan pesoalan pribadi dengan persoalan kelompok dan perlahan menghapus primordialisme yang berlebihan.
F.     PENUTUP
Perang antara suku Dani dan suku Moni terjadi karena kedua suku masih memiliki primordialisme yang sangat tinggi terhadap sukunya masing-masing. Permasalahan yang bersumber dari perebutan lahan berakhir dengan perang yang memakan banyak korban tewas dan luka-luka serta kerusakan alat-alat akibat kerusuhan. Konflik semacam ini tentu sangat mengancam integrasi nasional. Suku Dani dan suku Moni yang sama-sama merupakan penduduk Papua memiliki subkebudayaan yang berbeda dan memilih menyelesaikan konflik dengan cara nenek moyang mereka. Solusi yang paling tepat untuk menghentikan budaya perang yang ada di Papua adalah dengan mengubah mindset masyarakatknya dan memberi edukasi  tentang berbagai hal sehingga mereka bisa mulai berpikir dengan lebih rasional dan positif.

DAFTAR PUSTAKA

Nasikun, (1989). Sistem sosial Indonesia, Jakarta: CV Rajawali
Ranjabar & Jacobus, (2013). Sistem sosial budaya Indonesia – Suatu pengantar, Bandung: CV Alfabeta
Suharno, (2013). Model peace building teaching and learning. Jurnal Stranas.
Susan & Novri, (2009). Pengantar sosiologi konflik dan isu-isu konflik kontemporer, Jakarta: Prenada Media Group




http://id.wikipedia.org/wiki/Papua diunduh tanggal 3 Mei 2015


 


Kamis, 08 Maret 2012

Traveling gak harus mahal kok :)


Traveling  Tak harus Mahal


Tanjung Aan Lombok

Pemilik hobi yang satu ini tak harus mengeluarkan biaya besar untuk memenuhi hasratnya. Banyak cara bisa kita gunaka agar traveling tetap jalan namun dompet gak terkura isinya he..he. Beberapa tips yang bisa kita lakukan antara lain :
1.       Tentukan tujuan yang akan dipilih
2.       Cari informasi seluk beluk daerah tujuan
3.       Jenis transportasi yang tersedia
4.       Penginapan, tempat makan dan keamanan sekitar tujuan
5.       Bawa obat-obatan , kartu identitas, buku bacaan, buku catatan, kamera dan peta
6.       Uang cash secukupnya ( antisipasi klo gak ketemu ATM)
7.       Jangan lupa beli oleh2 cinderamata khas setempat ( turut mempromosikan ke teman-teman)
 Ada yang punya tips lain, silahkan ditunggu, makasih.