PERANG ANTAR SUKU
DANI DAN SUKU MONI DI PAPUA
DALAM KAJIAN
INTEGRASI NASIONAL DAN KONFLIK
MASYARAKAT INDONESIA
Abstrack
(datik512@gmail.com)
The existence of
the state of Indonesia as an archipelagic country strongly supports the
diversity of tribes with all kinds of cultures, traditions, customs and
religion / belief. Such conditions also trigger conflict among these tribes who
sometimes end up with war, destruction and even loss of life on both sides of
the conflict. I mentioned that sometimes ended with war, destruction and even
loss of life on both sides of the conflict.
Handling inter-ethnic conflict in Papua is done by local
government and social institutions basically have the same pattern of treatment
that can be seen as a negative action, criminal and contrary to law. With such
an understanding, the role of local government and social institutions is
nothing more than a police guard who simply intervene and stop the fighting.
The most
appropriate solution to remove the inter-tribal warfare culture is to change
the mindset of the people of Papua.Attempts to change this mindset and the
process requires the cooperation of various fields ranging religion, education
and government to be able to change the people of Papua into society more
rational and openmind. Papua society as a whole must be educated about how to
separate the issue of the personal with the issue of the group and slowly
remove excessive primordialism.
Key words : Conflict between ethnic , national integrity , and the solution .
Abstrak
Keberadaan
negara Indonesia sebagai negara kepulauan sangat mendukung beragamnya suku-suku
bangsa dengan segala macam budaya, adat istiadat, kebiasaan dan agama/
kepercayaan. Kondisi seperti ini juga memicu munculnya konflik diantara
suku-suku tersebut yang terkadang berakhir dengan peperangan, perusakan bahkan
hilangnya nyawa dari kedua belah pihak yang berkonflik.
Penanganan
konflik antar suku di Papua yang dilakukan oleh Pemda dan lembaga kemasyarakatan
pada dasarnya memiliki pola penanganan yang sama, yaitu dilihat sebagai suatu
tindakan yang negatif, kriminal dan bertentangan dengan hukum. Dengan pemahaman
semacam ini, peran Pemda dan lembaga kemasyarakatan tidak lebih dari seorang
polisi penjaga yang hanya melerai dan menghentikan pertikaian.
Solusi
yang paling tepat untuk menghapus budaya perang antar suku ini adalah dengan
mengubah mindset masyarakat Papua.
Upaya untuk mengubah mindset ini
memerlukan proses dan kerjasama dari berbagai bidang mulai agama, pendidikan
serta pemerintah agar mampu mengubah masyarakat Papua menjadi masyarakat yang
lebih rasional dan openmind. Masyarakat Papua secara menyeluruh harus
diedukasi tentang bagaimana memisahkan pesoalan pribadi dengan persoalan
kelompok dan perlahan menghapus primordialisme yang berlebihan.
Kata kunci: Konflik antar suku,
integritas nasional , dan solusinya.
A. Latar Belakang
Masalah
Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar dan terluas keempat di dunia dengan jumlah pulau kurang lebih 13.
466.000 menurut sumber Badan Informasi
Geospasial (BI). Kondisi tersebut tentulah membawa manfaat yang besar terhadap
keanekaragaman budaya , bahasa, agama dan dan adat istiadat. Namun juga rentan
terjadi konflik antar maupun internal suku dalam pulau –pulau tersebut.
Pulau
Papua salah satu bagian kepulauan Indonesia di bagian timur wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang cukup besar dengan luas wilayah 317.062 km2 dan dihuni oleh
ratusan suku besar maupun suku kecil. Secara geografis Papua terdiri dari daerah
pegunungan dengan lembah-lembah yang
ditumbuhi rumput-rumput kasar, dengan
suhu tertinggi 28,2 derajat celcius di kota Jayapura dan suhu terendah 19 derajat
celcius di kota Wamena. Mata pencaharian sebagian besar masyarakatnya adalah
bertani dan berkebun serta beternak. Kondisi tanah di Papua sangat cocok untuk
pertanian dan perkebunan karena kesuburannya.
Pulau
Papua dihuni oleh ribuan suku besar maupaun suku kecil, total jumlah suku di papua menurut data sensus
penduduk tahun 2000 adalah 1068 suku. Dengan jumlah suku yang begitu banyak
pasti bisa kita bayangkan betapa kayanya pulau tersebut dengan keanekaragaman
budaya dan juga betapa rentannya terjadi konflik di tanah Papua. Seperti yang dilansir oleh media massa cetak
maupun elektronik baik local maupun nasional sering terjadi perang suku yang
terkadang berujung dengan hilangnya nyawa adalah hal yang sering terjadi.
Kondisi
di papua sangat beralasan untuk terjadinya konflik karena dengan kondisi
geografis yang terdiri dari pegunungan, lembah dan hutan juga sungai sering
terjadi pertengkaran yang dipicu oleh masalah perebutan hak ulayat. Sesuai
dengan pekerjaan dan budaya penduduk Papua yang suka bertani dan berkebun.
Papua
hingga saat ini masih menyimpan berbagai macam permasalahan sosial terutama
konflik atau perang antar suku. Konflik sosial yang terjadi di Papua sangat
beragam dan mencakup semua aspek kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya,
politik dan ekonomi. Konflik yang terjadi beberapa tahun belakangan ini juga
tidak terlepas dari pokok permasalahan tersebut, seperti yang belum lama ini
terjadi yaitu perang antar suku Dani dan suku Moni di Kabupaten Mimika yang diakibatkan perebutan lahan irigasi.
B. Rumusan Masalah
Makalah
ini akan membahas mengenai analisis konflik yang terjadi di Papua dan solusi
atau penyelesaian yang mungkin dapat dilakukan terhadap konflik yang terjadi
C. Perang Antar Suku di Papua dalam Kajian Integrasi Nasional
Struktur masyarakat
Papua yang penuh dengan pluralitas telah banyak dan akan selalu menimbulkan
persoalan integrasi nasional karena hingga saat ini belum ada solusi yang tepat
untuk mengakhirinya. Papua memiliki masyarakat yang majemuk, sesuai karakteristik
masyarakat majemuk yaitu: terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok
yang memiliki subkebudayaan yang berbeda, kurang mengembangkan konsensus
tentang nilai sosial yang mendasar, sering terjadi konflik antar kelompok dan
secara relatif integrasi terjadi karena adanya coercion atau paksaan. Masyarakat Papua merupakan masyarakat dengan
tingkat diferensial yang tinggi dengan banyak lembaga kemasyarakatan namun
tetap saling bergantung (Nasikun, 1989: 67-68).
Kesatuan sosial yang
tersegmentasi berdasarkan ikatan primordialisme dengan subkebudayaan yang
berbeda tentu saja akan sangat rawan menimbulkan konflik antar segmen
masyarakatnya. Hal ini terjadi di antara suku Dani dan suku Moni di Papua,
meskipun mereka sama-sama dalam naungan budaya Papua namun subkebudayaan mereka
berbeda, primordial mereka sangat tinggi terhadap sukunya masing-masing, hal
ini menyebabkan suatu konflik kecil pun pada akhirnya berakhir dengan
peperangan.
Integrasi nasional bisa
tercapai ketika terdapat kesepakatan masyarakat akan nilai umum tertentu. Nilai
umum tersebut juga lebih lanjut harus dihayati dengan benar melalui proses sosialisasi.
Di Indonesia terdapat suatu pengakuan bertumpah darah satu, berkebangsaan satu
dan berbahasa satu, Indonesia. Pengakuan tersebut menjadi konsensus umum bagi
masyarakat Indonesia (Jacobus, 2013: 199). Jika pengakuan tersebut benar-benar
dihayati oleh setiap masyarakat Indonesia maka akan menjadi suatu alat integrasi
yang luar biasa dan tidak akan ada lagi konflik bahkan peperangan seperti yang
terjadi di Mimika Papua antara suku Dani dengan suku Moni.
Integrasi nasional bisa
terhambat dipengaruhi oleh dua dimensi yaitu dimensi horizontal dan dimensi
vertikal seperti yang dikemukakan oleh R. William Liddle. Dimensi horizontal
berupa masalah akibat adanya perbedaan suku, ras, agama dan aliran yang
lainnya. Dimensi ini sering terjadi karena adanya kekentalan primordialisme
masyarakat. Sedangkan dimensi vertikal berupa masalah yang terjadi akibat
munculnya kelompok-kelompok tertentu yang menjelma sebagai jurang pemisah
antara mayoritas dengan minoritas atau antara golongan elit dengan golongan
masyarakat biasa. Hal tersebut kemudian akan menimbulkan rasa keterasingan atau
rasa kecemburuan dari golongan minoritas atau rakyat biasa. Perang yang terjadi
di Mimika Papua jelas merupakan konflik dalam dimensi horizontal karena terjadi
antar suku yang masing-masing memegang primordial yang tinggi.
Masyarakat Indonesia yang
beragam disegala aspek kehidupan sangat rawan terjadi konflik dan oleh karenanya
integrasi nasional pun akan sulit dicapai. Konflik yang menghambat integrasi
nasional tersebut diantaranya terjadi karena:
a.
Salah satu suku bangsa
mendominasi suku bangsa lain secara politis. Konflik berupa pertentangan akibat
pembagian status kekuasaan yang tidak merata.
b.
Warga dari dua suku saling
bersaing untuk mendapat lapangan mata pencaharian hidup bersama
c.
Warga dari satu suku memaksakan
kebudayaan mereka kepada warga suku yang lain
d.
Warga dari satu suku berusaha
mendominasi suku lain secara ideologis
e.
Hubungan antara suku bangsa yang
telah bermusuhan secara adat
D. Perang antar
suku di Papua dalam Kajian Konflik
Papua adalah salah satu
provinsi di Indonesia yang masih sangat sedikit tersentuh modernisasi,
masyarakatnya masih banyak yang tinggal di pedalaman dan cenderung menolak
modernisasi yang datang. Masyarakat Papua mayoritas masih dapat dikatakan
primitif karena masih memegang teguh apa yang diturunkan nenek moyang termasuk
meniru cara nenek moyang dalam menyelesaikan masalah. Setiap terjadi suatu
masalah masyarakat suku adat Papua menetapkan babi sebagai denda yang harus
dibayarkan kepada pihak yang dirugikan dan jika tidak dituruti maka perang
antar suku akan dilakukan. Selain itu jika ada anggota mereka mati karena ulah
suku lain maka mereka akan membalas membunuh anggota suku lain tersebut, bagi
mereka nyawa harus dibayar dengan nyawa yang setimpal.
Tanah Papua masih
menyimpan banyak permasalahan sosial termasuk yang sering diungkap ke permukaan
adalah permasalahan berupa konflik atau peperangan antar suku. Papua yang
terdiri dari banyak suku tersebut masing-masing memiliki subkebudayaan yang
berbeda dan memegang primordialisme yang sangat tinggi. Ketika ada seseorang
atau sesuatu dari bagian sukunya merasa dirugikan bahkan sekecil apapun oleh
suku lain, mereka akan merasa turut dirugikan hingga akhirnya masalah sepele
pun bisa berakhir perang diantara suku tersebut. Permasalahan masa lalu dalam
internal antar suku pun kerap kali masih diungkit hingga sekarang. Penyelesaian
secara damai pun sulit untuk dilakukan karena mereka memilih untuk
menyelesaikan masalah dengan cara adat mereka sendiri.
Suku Dani dan suku Moni
adalah dua diantara banyak suku asli Papua yang memiliki budaya perang yang
sangat tinggi. Februari 2014 perang antara kedua suku tersebut kembali tumpah.
Konflik terjadi akibat adanya perebutan tanah di Kali Kamoro, Jalan Trans
Timika-Paniai bermula dengan aksi saling bakar alat berat milik kedua suku tersebut pada 17 – 18
Februari 2014 di lokasi Kali Iwaka dan kompleks Djayanti Kuala Kencana dan
Jembatan Kali Pindah-pindah.
Meskipun sebenarnya
telah ada perjanjian damai pada bulan Februari namun pada kenyataannya konflik
perebutan lahan tersebut tetap berlanjut hingga 4 Maret 2014. Suku Dani dan
Suku Moni terlibat saling serang dan membuat Kampung Mimika Gunung Jayanti,
Distrik Kuala Kencana, Kabupaten Mimika mencekam mulai 7 Maret 2014. Perang
berakhir dengan adanya pembubaran paksa oleh pemerintah setempat dan memakan 4
korban tewas serta ratusan warga luka akibat benda tajam.
Selanjutnya 17 Maret
pemerintah setempat membentuk satuan tugas (satgas) yang berfokus untuk
menyelesaikan peperangan tersebut. Namun ternyata pada konflik tersebut tetap
berbuntut panjang. 27 Maret 2014 dua orang tewas dibantai secara sadis, kedua
korban diyakini memiliki kaitan dengan konflik Dani-Moni. Pada akhirnya 3 April
2014 kedua kubu menggelar prosesi bakar batu sebagai bentuk perdamaian. Diluar
dugaan ternyata konflik tetap berlanjut dan terjadi perang lagi pada awal Mei
2014.
Jika ditilik dari
kajian konflik, sebenarnya konflik memang merupakan suatu hal yang tidak dapat
dihindari dalam hidup manusia namun tidak bisa dibenarkan jika konflik tersebut
diikuti dengan kekerasan seperti perang antara suku Dani dan suku Moni. Di
Indonesia sendiri memang beberapa masyarakat tertentu menganggap penyelesaian
konflik dengan kekerasan merupakan suatu adat tersendiri dan tertanam kuat
dalam mindset mereka, oleh karenanya
masih sulit untuk dihentikan.
Intensitas terjadinya
konflik di Indonesia memiliki indikator sendiri, seperti yang diungkapkan oleh
Nasikun (1989: 82-91):
a.
Demonstrasi tanpa kekerasan yang
dilakukan untuk memprotes rezim pemerintahan
b.
Kerusuhan yang menggunakan
kekerasan fisik ditandai dengan adanya spontanitas akibat insiden dari suatu
kekacauan
c.
Serangan bersenjata atau armed attack berupa kekerasan untuk
melemahkan pihak lain
d.
Kematian akibat adanya kekerasan
politik
e.
Governmental
sanction
yang diambil penguasa untuk menetralisir ancaman terhadap keamanan pemerintah
Peperangan antar suku
Dani dan suku Moni termasuk dalam indikator armed
attack atau serangan bersenjata. Armed
attack ditandai dengan adanya pertumpahan darah, pergulatan fisik maupun
perusakan barang-barang. Armed attack
yang dilakukan suku Dani maupun suku Moni bertujuan untuk kepentingan
mempertahankan tanah adat yang diklaim oleh masing-masing pihak.
Jacobus Ranjabar dalam
bukunya mengutip pengklasifikasian konflik yang dikemukakan oleh H. Kusnadi dan
Bambang Wahyudi (2013: 211-213). Pengklasifikasian cukup kompleks mencakup
berbagai macam aspek. Berikut adalah analisis pengklasifikasian konflik perang
suku Dani dan suku Moni di Papua:
a.
Menurut hubungannya dengan tujuan
organisasi perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik
disfungsional. Konflik jenis ini menghambat tercapainya tujuan organisasi dalam
hal ini berupa integrasi nasional. Konflik ini juga kerap bersifat destruktif
atau merusak sehingga akan merugikan banyak pihak jika penyebabnya tidak
dieliminasi semaksimal mungkin.
b.
Menurut hubungannya dengan posisi
pelaku yang berkonflik perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis
konflik horizontal. Konflik ini terjadi antara sesama suku asli Papua yang
memiliki derajat atau kedudukan yang sama, tidak ada yang lebih tinggi atau
lebih rendah kedudukannya antara suku Dani maupun suku Moni.
c.
Menurut hubungannya dengan sifat
pelaku yang berkonflik perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis
konflik terbuka. Perang tersebut diketahui oleh banyak pihak atau masyarakat
Indonesia.
d.
Menurut hubungannya dengan waktu
perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik berkelanjutan.
Konflik jenis ini berlangsung dalam waktu yang lama dan sulit untuk
diselesaikan, seperti perang antara kedua suku tersebut, meskipun telah dicapai
kata damai namun tetap saja di kemudian hari tidak menutup kemungkinan akan ada
konflik lanjutan yang baru.
e.
Menurut hubungannya dengan
pengendalian perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis konflik tidak
terkendali. Konflik yang terjadi tidak dapat dengan mudah dikendalikan dan
bahkan semakin meluas.
f.
Menurut hubungannya dengan
sistematika konflik perang antara suku Dani dan suku Moni termasuk jenis
konflik sistematis. Perang yang mereka lakukan terjadi karena telah
direncanakan, ada yang mengomando serta memiliki suatu tujuan yaitu
mempertahankan tanah ulayat mereka.
g.
Menurut hubungannya dengan
konsentrasi aktivitas manusia di dalam masyarakat perang antara suku Dani dan
suku Moni termasuk jenis konflik budaya serta konflik pertahanan.
Secara umum perang
antara suku Dani dan suku Moni jelas masuk dalam konflik horizontal. Konflik
ini cenderung mengikat dan cenderung diwarnai dengan tindakan kekerasan,
penghancuran harta benda, pembunuhan dan bahkan pelenyapan etnis tertentu.
Konflik ini dipicu saling klaim tanah ulayat dan adanya dorongan emosional akibat
adanya primordialisme yang kental akan masing-masing suku.
Namun di sisi lain,
menurut Lewis Coser konflik juga memiliki fungsi terhadap sistem sosial, ia
menolak bahwa hanya konsensus dan kerjasama yang memiliki fungsi integrasi.
Menurut Coser konflik tidak hanya memiliki wajah negatif namun juga
positif terhadap perubahan sosial.
E. Solusi yang
dapat diambil
Secara teoritis menurut
Reza Sihbudi dan Moch Nurhsim (dalam Jacobus, 2013: 245-246) ada beberapa upaya
untuk mencegah konflik yang menghambat integrasi nasional, yaitu:
a.
Memasukkan transformasi
multikultural sebagai salah satu mata pelajaran dari sekolah hingga perguruan
tinggi.
b.
Pemberdayaan ekonomi rakyat
secara nasional agar tidak terjadi kesenjangan struktural dan kultural
c.
Pemerintah perlu membuat
undang-undang kesederajatan hak warga negara
d.
Memisahkan kehidupan agama, suku,
etnik, ras dan golongan dalam kehidupan politik bernegara
e.
Mengeliminasi stereotip dan
prasangka dalam masyarakat
Dalam kenyataannya
untuk menangani perang antara suku Dani dan suku Moni pemerintah hanya
melakukan upaya represif padahal konflik sejenis ini relatif sering terjadi di
Papua. Pendamaian perang suku yang dilakukan oleh Pemda dan lembaga
kemasyarakatan pada dasarnya memiliki pola penanganan yang sama. Perang suku dilihat
sebagai suatu tindakan yang negative, kriminal dan bertentangan dengan hukum.
Karena pemahaman semacam ini, perang suku harus dihentikan dan ditiadakan.
Dengan pemahaman semacam ini, peran Pemda dan lembaga kemasyarakatan tidak
lebih dari seorang polisi penjaga yang hanya melerai dan menghentikan
pertikaian.
Penanganan konflik
seperti diatas bisa saja menyelesaikan masalah namun tetap memiliki kelemahan.
Pola penanganan semacam ini bersifat parsial atau hanya efektif untuk satu
kasus. Ketika kasus yang lain muncul maka perang akan muncul kembali. Meskipun
perdamaian secara adat telah sering dilakukan untuk menghentikan dan
mendamaikan pihak-pihak yang terlibat dalam perang suku, akan tetapi ketika
masalah yang baru muncul maka perang kembali terjadi. Penanganan secara adat
juga akan semakin memperkokoh keutamaan kategorisasi (kelompok) sosial. Padahal
kategorisasi sosial justru menjadi penyebab utama dari berbagai konflik sosial.
Ketika kultur setiap suku yang ada di pedalaman Papua terus menerus dipertahankan
dan mendapat legalitas secara politik maupun religious maka perang antar suku
akan terus menerus terjadi.
Penanganan perang antara suku Dani
dan suku Moni yang dilakukan Pemda dengan membentuk satuan tugas atau satgas,
mempertemukan kedua pihak yang bertikai dengan dijembatani pihak ketiga serta
upacara bakar batu seperti adat di Papua benar bisa menghentikan konflik yang
terjadi. Segala upaya tersebut sebagai upaya preventif bisa dikatakan cukup
efektif namun tetap tidak bisa menghapus permasalahan hingga ke akarnya,
permasalahan baru yang serupa sangat mungkin terjadi lagi dikemudian hari.
Solusi
yang paling tepat untuk menghapus budaya perang antar suku ini adalah dengan
mengubah mindset masyarakat Papua.
Pemerintah harus berupaya lebih keras untuk melakukan pendekatan dengan
masyarakat Papua secara keseluruhan bahkan hingga ke masyarakat pedalaman yang
masih sangat primitif. Upaya untuk mengubah mindset
ini memerlukan proses dan kerjasama dari berbagai bidang mulai agama,
pendidikan, serta pemerintah agar mampu mengubah masyarakat Papua menjadi
masyarakat yang lebih rasional, potitif dan openmind.
(Suharno, 2013:3) pendidikan merupakan variabel penting untuk melakukan
intervensi dan rekayasa sosial. Masyarakat Papua secara menyeluruh harus diedukasi
tentang bagaimana memisahkan pesoalan pribadi dengan persoalan kelompok dan
perlahan menghapus primordialisme yang berlebihan.
F. PENUTUP
Perang
antara suku Dani dan suku Moni terjadi karena kedua suku masih memiliki
primordialisme yang sangat tinggi terhadap sukunya masing-masing. Permasalahan yang
bersumber dari perebutan lahan berakhir dengan perang yang memakan banyak
korban tewas dan luka-luka serta kerusakan alat-alat akibat kerusuhan. Konflik
semacam ini tentu sangat mengancam integrasi nasional. Suku Dani dan suku Moni
yang sama-sama merupakan penduduk Papua memiliki subkebudayaan yang berbeda dan
memilih menyelesaikan konflik dengan cara nenek moyang mereka. Solusi yang
paling tepat untuk menghentikan budaya perang yang ada di Papua adalah dengan
mengubah mindset masyarakatknya dan
memberi edukasi tentang berbagai hal
sehingga mereka bisa mulai berpikir dengan lebih rasional dan positif.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasikun,
(1989). Sistem sosial Indonesia,
Jakarta: CV Rajawali
Ranjabar
& Jacobus, (2013). Sistem sosial budaya
Indonesia – Suatu pengantar, Bandung: CV Alfabeta
Suharno,
(2013). Model peace building teaching and learning. Jurnal Stranas.
Susan
& Novri, (2009). Pengantar sosiologi konflik
dan isu-isu konflik kontemporer, Jakarta: Prenada Media Group
https://www.papua.go.id/bps/LEFT%20FRAME%20WEB%202005/PENDUDUK/SUKU%20BANGSA%20ASLI%20PAPUA%20MENURUT%20URUTAN%20ABJAD.htm
diunduh tanggal 2 Mei 2015
http://www.antaranews.com/berita/420031/masyarakat-suku-moni-dan-dani-saling-balas-bakar-alat-berat diunduh tanggal
2 Mei 2015
http://www.indosiar.com/fokus/suku-moni-dani-kembali-dani-kembali-perang-16-terluka_117435.html diunduh tanggal
2 Mei 2015
http://www.kodam17cenderawasih.mil.id/berita/perang-antar-suku-dani-dan-suku-moni-berakhir-damai/ diunduh tanggal
3 Mei 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Integrasi_sosial diunduh tanggal
3 Mei 2015
http://id.wikipedia.org/wiki/Papua diunduh tanggal
3 Mei 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar